Kamis, 03 Februari 2011

Rabu, 02 Februari 2011

GEOPHYSICAL RESISTIVITY TEST



oleh,

Ir. Umar Effendi Daulay, Sp.1
Hydrogeologist, pensiunan  pegawai Ditjen. SDA, Departemen Pekerjaan Umum



Ringkasan

Geophysical resistivity test telah banyak dilakukan untuk berbagai keperluan dalam menduga keterdapatan air tanah, mineral and applikasi resistivity dalam teknik sipil. Setiap bahan/material akan mempunyai tahanan/resistance jika dialirkan arus listrik. Nilai resistivity ini tergantung pada kekompakan bahan, porositas, dan permeabilitas bahan serta kandungan air. Cara untuk memperoleh resistivity bahan di alam dilakukan dengan menyusun 4 batang elektroda dengan aturan WENNER ataupun  SCHULUMBERGER. Mulai dari tahun 1920 sampai 1997 merupakan metoda konvensional dengan analisa kuntitatif. Dengan kemajuan perkembangan elektronika ,komputerisasi and perangkat lunak maka survey resistivity test berkembang untuk memperoleh penampang resistivity 2D and 3D. Pada SHORT COURSE GEOPHYSICAL TEST ini hanya diperkenalkan metoda konvensional dengan aturan elektroda SCHLUMBERGER.


   
1.PENDAHULUAN

Resistivity test adalah suatu metoda eksplorasi geofisika untuk penyelidikan keadaan  batuan bawah permukaan dengan menggunakan sifat-sifat kelistrikan. Sifat-sifat kelistrikan batuan tersebut adalah :
1.    Tahanan jenis (specific resistivity)
2.    Daya hantar listrik (conductivity )
3.    Dielectrical constant
4.    Kemampuan menimbulkan potensial sendiri (Spontaneous potential)
5.    Kemampuan menimbulkan medan induksi
6.    Sifat menyimpan potensial dan lain-lain

Dengan memanfaatkan sifat-sifat kelistrikan tersebut maka resistivity test telah digunakan pada berbagai bidang ilmu ,yaitu :

1.    Regional Geology untuk mengetahui struktur and sedimentasi
2.    Hidrogeologi/geohidrologi untuk mengetahui keterdapan air tanah, muka air tanah, akuifer, stratigrafi and intrusi air laut.
3.    Geologi Teknik untuk mengetahui struktur , startigrafi, permeabilitas and porositas batuan, bahan dasar, pondasi batuan konstruksi bangunan teknis, cathodic protection, grounding.
4.    Mining/Pertambangan untuk mengetahui endapan plaser, stratigrafi, struktur, penyebaran endapan mineral.
5.    Archeology untuk mengetahui dasar candi , candi terpendam, tanah galian lama.
6.    Panas Bumi/Geothermal mengetahui kedalaman, penyebaran, low resistivity daerah panas bumi.
7.    Minyak / Oil Exploration untuk mengetahui struktur, air and minyak serta porositas, water content/ well logging geophysic.

Pada SHORT COURSE RESISTIVITY TEST ini akan dibahas/diuraikan  mengenai :
1.    Teori dasar metoda resistivity
2.    Pelaksanaan resistivity test di lapangan
3.    Penafsiran data
4.    Penggunaan/ aplikasi resistivity test
5.    Praktek pelaksanaan di lapangan

2.TEORI RESISTIVITY

Jika sebatang logam/contoh batuan atau material dialirkan arus listrik maka akan dapat diperoleh nilai tahanan/resistance dari bahan tersebut. Nilai tahanan/resitance dari bahan akan tergantung pada kekompakan bahan/batuan, porositas and permeablititas batuan and kandungan salinitas air pada  bahan/material.

Tahanan listrik dari antara 2 titik dapat diketahui dengan menggunakan Hukum Ohm , yaitu :

                                    R = V/I ……………(i)
Dimana,           R = tahanan/resistance dalam ohm
                        V = perbedaan potensial listrik dalam volt
                         I =  perbedaan arus listrik dalam amper.

Tahanan atau resistivity dari suatu bahan adalah tahanan antara dua sisi yang berlawanan pada suatu tabung, and mempunyai satuan ohm-meter. Tahanan dari bahan atau material berbanding terbalik dengan daya hantar listrik (conductivity). Tahanan dari kawat uniform yang pajang atau contoh inti batuan berbentuk silinder (Gambar 1) adalah :


Gambar 1. Gambar skema untuk mengukur resistivity pada contoh batuan/bahan.

            R = ρ L/A = ρ /K  …………………………(ii)

Dimana, ρ = tahanan jenis dalam ohm-meter
                        L = panjang dalam meter
                        A = luas area dalam m².
                        K = faktor geografis

Keadaan diatas dapat dilakukan di laboratorium dengan mengalirkan arus listrik melalui suatu bahan/batuan  and mencatat perbedaan potensial antar dua gulungan kabel.

Pengukuran resistivity di laboratorium ini diaplikasikan pada pengukuran tahanan jenis di bawah permukaan tanah.  Caranya adalah dengan menancapkan 4 (empat ) batang elektroda diatas permukaan tanah, kemudian elektroda luar ( elektroda A dan B ) dialirkan arus listrik (∆ I) sehingga akan menyebabkan perbedaan potensial dari elektroda dalam (elektroda M and elektroda N).  Maka dengan menggunakan Rumus Ohm dapat diperoleh tahanan jenis asli (ρa) dari tanah/batuan pada daerah pengukuran.

Nilai ρa = K x V/I = KR …………(iii),

Tatapan K tergantung pada konfigurasi keempat eletroda dengan nilai sebagai berikut :


K = 2π /(1/AM – 1/AN) – (1/BM-1/BN) ………………………..(iv)

Atau  K = π {(AB)2-(MN)2} ..........................................................(v)
                        4MN

Dimana AB = jarak elektoda arus and MN jarak elektroda potensial.


Gambar 2. Susunan elektroda aturan WENNER.

Jika menggunakan susunan elektroda WENNER, maka diperoleh ρa adalah :

….. ρa  = KR = 2 π a R …………………………………………..(vi)

Sedangkan jika menggunakan susunan elektroda SCHLUMBERGER adalah

….. ρa  = KR = π {(AB)2-(MN)2} …………………………………………..(vii)
                                    4 MN

Gambar 3. Susunan elektroda aturan SCHLUMBERGER.


3. SURVEY RESISTIVITY TEST

3.1. Survey resistivity test 1 D (satu dimensi).

Mula pertama metode resistivity dikembangkan oleh family SCHLUMBERGER pada tahun 1920. Pada waktu yang bersamaan ditemukan pula pelaksanaan metode resistivity oleh WENNER di Amereka. Hampit sekitar 60 tahun lebih menggunakan survey aturan elektoda konvensianal (Koefoed,1979) and menggunakan anal;isa kuantitativ.

Pelaksanaan resistivity test dari 1920 – 1997 semua menggunakan aturan 4 elektroda konvesional  Schlumberger and Wenner. Hasil pendugaan ini disebut hanya dapat menafsirkan lapisan horizontal and perubahan nilai tahanan jenis pada kedalaman tertentu. Susunan umum dari ke empat elektroda tersebut terlihat pada Gambar 3.  Hasil ini juga disebut sebagai model satu dimensi bawah permukaan ( Gambar 4 a). Model ini tidak dapat mendeteksi perubahan lateral lapisan dibawah muka tanah.



Gambar 4 Susunan elektroda untuk resistivity 2 D and 3 D.
3.2. Survey resistivity test  2 D atau 3 D (dua dimensi and tiga dimensi).

Dengan kemajuan perangkat teknologi computer dan software resistivity serta penggunaan banyak elektroda (multy core cable/electrode). Juga untuk menjelaskan masalah lingkungan and pemecahan study infrastruktur, maka setelah 1997 resistivity test berkembang sehingga dapat menfsirkan keadaan bawah permukan secara 2 D and 3 D.   Aturan and susunan elektroda tersebut adalah aturab Wenner (α,β,γ), aturan Wenner – Schlumberger, aturan dipole-dipole, aturan pole-pole and aturan reverse pole –dipole . Susunan elektroda untuk 2 D terlihat pada Gambar 4 and hasil penafsiran pada Gambar 5. Sedangkan susunan elektoda untuk 3 D terlihat pada Gambar 6 dan hasil resistivity test pada Gambar 7.



Gambar 5. Penampang resistivity hasil dari survey resistivity 2 D.



Gambar 6. Susunan elektroda untuk survey resistivity 2 D.



Gambar 7. Susunan elektroda untuk survey resistivity 2 D.


Gambar 8. Sususunan elektroda untuk survey resistivity 3 D.
Pada SHORT COURSE RESISTIVITY TEST ini hanya di praktekkan untuk survey resistivity test / metoda konvensional 1 D.

Gambar 9. Blok diagram resistivity sebagai hasil dari survey resistivity 3 D.


4. HUBUNGAN GEOLOGI DENGAN RESISTIVITY

Hasil resistivity test untuk berbagai jenis batuan, tanah dan bahan lain terdapat pada distribusi resistivity pada bawah permukaan. Untuk merubah gambaran resistivity pada keadaan geologi, beberapa pengetahuan keadaan geologi dan jenis resistivity dan keadaan geologi daerah sangat penting.    

Tabel 1. Menggambarkan nilai resistivity dari batuan yang umum, material tanah and bahan kimia (Keller and Frischknect, 1966, Daniels and Alberty, 1966). Batuan beku and batuan malihan mempunyai nilai resistivity tinggi. Nilai resistivity ini tergantung pada derajat pelapukan, and persentasi rekahan yang terisi oleh air tanah. Batuan sedimen umumnya lebih lulus air and mempunyai kandungan air. . Umumnya batuan sedimen mempunyai resistivity yang lebih rendah. Tanah basah dan air tanah segar mempunyai resistivity rendah. Tanah lempungan mempunyai resistivity rendah dari pada tanah pasiran. Akan tetapi patut dicatat terdapat resistivity yang tumpang tindih anata beberapa jenis batuan and tanah/soil. Hal ini dikarenakan resistivity jenis batuan tertentu atau contoh tanah tergantung pada beberapa faktor antara lain porositas, tingkat kejenuhan air and konsentrasi garam terlarut.



Tabel 1. Resistivity dari jenis batuan, mineral and cairan kimia (Loke,M.H.,2000)

5.PENAFSIRAN DATA RESISTIVITY

5,1. Penafsiran Data Resistivity

Data resistivity dari lapangan diplot pada kertas log ganda dengan modulus 62,5 mm/cycles atau 83,33 mm/cycles. Nilai tahanan jenis semu (ρa) sebagai ordinat and AB/2 (m) sebagai absis. Data resistivity lapangan akan dicocokkan dengan kurva baku dan kurva tambahan sehingga dapat diperoleh lapisan ρ1, ρ2, ρ3 serta ketebalan lapisan.

Cara penafsiran geolistrik tahanan jenis dapat dilakukan dengan :
1.        Cara manual/konvensional, dengan  menggunakan Kurva Baku and Kurva Tambahan and melakukan pencocokan lemgkungan (matching curve). Penafsiran resistivity dilakukan untuk memperoleh nilai tahanan jenis semu and ketebalan lapisan. Perhitungan and pencocokan Kurva baku dari dua tipe lapisan (two type layers), tiga lapisan atau empat lapisan pada keadaan nilai tahanan jenis and ketebalan lapisan yang berbeda. Kurva Baku (two layers curves) and Kurva Tambahan (K.Q,A and H ) telah diperkenalkan oleh Orellana and Mooney, 1966 , Bhattacharya P.K. and Patra H.P.,1968 , and Rijkswaterstaat, 1969.
Cara manual ini telah digunakan selama 25 tahun sampai diperkenalkan penafasiran data dengan menggunakan software.

2.        Cara komputerisasi/perangkat lunak yaitu dengan menggunakan perangkat lunak seperti program penafsiran data resistivity dari RESINT 53, IPWin,  VESPC, GRIVEL and RESIXv3. Dengan memasukkan data pada program diatas dan me”run”/ menjalankan program maka akan diperoleh nilai tahanan jenis serta ketebalan lapisan.
Program lain untuk pembuatan penampang 2 D atau 3 D dapat tercatat RES2DINV ver.3.4 -2D Resistivity,

5.2. Resistivity hubungan dengan Akuifer

Hubungan antara nilai tahanan jenis dengan jenis batuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1.        Batuan sedimen yang lepas akan mempunyai nilai resistivity yang lebih rendah dibandingkan dengan batuan sedimen kompak. Jika batuan mengandung air akan lebih rendah lagi, apalagi jika air mengandung kadar garam yang tinggi.
2.        Kesarangan/porositas batuan. Batuan yang porous mempunyai nilai resistivity lebih rendah dari pada batuan yang tidak porous.
3.        pH dari air dalam rongga batuan. pH rendah menunjukkan batuan yang asam dengan nilai resistivity rendah.
4.        Tahanan jenis batuan akan bervariasi dari satu tempat ke tempat lain and tergantung pada lingkungan pengemdapan setempat.
5.        Tahanan jenis dapat berbeda secara mencolok, tidak saja dari satu lapisan kelapisan yang lain tetapi dalam satu lapisan batuan.
6.        Temperatur air tinggi (air panas) mempunyai nilai tahanan jenis rendah dibandingkan dengan temperature air lebih rendah (segar).
7.        Permeabilitas atau keasanggupan suatu batuan yang mempunyai pori-pori untuk mengalirkan cairan. Nilai resistivity batuan dengan permiabilitas tinggi akan lebih tinggi dibandingkan dengan batuan dengan permeabilitas//impermeable.
8.        Kesarangan (porositas) batuan adalah perbandingan antara volume rongga dengan volume batuan seluruhnya Vr/V x 100 %., kesarangan besar berarti volume air yang tersimpan besar.

Untuk air tanah mempunyai nilai resistivity berkisar antara 10 ohm-m sampai 100 ohm-m. Jika nilai resistivity antara 0,1 ohm-m  – 10 ohm-m menunjukkan air tanah payau sampai asin. Jika nilai resistivity antara 10 ohm-m samapai 30 ohm-m menunjukkan air tanah payau. Sedangkan air tanah segar nilai resistivity antara 40 ohm-m samapi 100 ohm-m. Range interval kandungan air tanah pada suatu akuifer dapat terlihat pada Gambar 8. Gambar 8 ini memperlihatkan akuifer dengan lapisan kedap air (impermeable layer) dengan nilai resistivity (Flathe, H, 1976). Hubungan antara ρw = tahanan jenis air and ρa = tahanan jenis lapisan akuifer and lapisan kedap air yang telah diperoleh dari penelitian lapangan and laboratorium. Perolehan nilai tahanan jenis berdasarkan rumus Archi :

ρa = (ρw) /pm S2  

 dimana ,

a)= tahanan jenis pada akuifer
p = porositas batuan
m = sementasi (1-1,3) pada batuan lepas
S = air yang jenuh (saturated)



Gambar 10. Hubungan lapisan akuifer, kedap air dengan nilai resistivity semu (Flathe,1979).\

6.PRAKTEK  RESISTIVITY Di LAPANGAN

6.1.Peralatan Resistivity-Meter


Peralatan resistivity berkembang pesat semenjak tahun 1966. Mula pertama peralatan resistivity menggunakan peralatan yang terdapat dalam kendaraan. Kemudian dengan perkembangan elektronika (resistor and capasitor) peralatan resitivity berkurang beratnya seperti buatan OYO GS 1. Peralatan resitivity berkembang terus dengan berkembangnya komputer and perangkat lunak sehingga peralatan resistivity dapat dibawa seseorang laiknya membawa “beauty case”.



Gambar 11. Survey resistivity zaman dulu dengan menggunakan alat pada kendaraan beroda  4.






Gambar 12. Peralatan OYO GS 1, peralatan resistivity produksi Jepang.




Gambar 13 Peralatan resistivity OYO McSeis 2115,buatan Jepang  lebih ringan and “handy”.


Gambar 14 Peralatan resistivity ABEM SAS 2000 lebih ringan and dapat digunakan untuk survey resistivity 2 D and 3n D.


Gambar 15. Peralatan resitivity NANIURA NRD 300 HF, buatan Dit.GL, Indonesia.
6.2.Praktek Resistivity Lapangan

Pada praktek lapangan ini akan digunakan atueran susunan elektroda SCHLUMBERGER dengan penetrasi kedalaman akan bertambah jika jarak elektoda arus AB dijauhkan dari titik pusat. Sehingga akan mendapatkan lapisan resistivity (ρ1) yang terletak diatas lapisan resistivity (ρ2).

Pengukuran resistivity dilakukan dengan mengatur jarak elektroda arus (AB) and elektroda potensial (MN) . Elektoda potensial dibuat tetap (MN/2) = 0,5 m, 5,00 m, 10,00 m and 25,00 m atau sampai 40,00 m. dari titik pusat. Sedangkan jarak  elektoda  arus dipindahkan dengan penambahan jarak elektroda arus (AB/2) jarak 1,50 m, 2,50 m, 4,00 m, 6,00 m, 8,00 m, 10,00 m,12,00 m, 15,00 m, 20,00 m ,25,00 m ,30,00 m, 40,00 m, 50,00 m , 60,00 m , 75,00 m, 100,00 m , 150,00 m, 200,00 m , 250,00 m 250,00 m, 300,00 m, 400,00 m and 500,00 m. dari titik pusat. Pergantian jarak elektroda potensial (MN/2) atau overlap dilakukan sedemikian rupa sehingga mendapatkan nilai resistivity semu yang hamper sama atau mendekati sedekat mungkin.

Nilai tahanan jenis semu (apparent resistivity) dari setiap perbedaan perpindahan elektoda arus adalah perkalian antara factor K dengan nilai R. Faktor K pada setiap elektroda dapat dihitung dengan kalkulator. Variasi dari setiap nilai apparent resistivity diperoleh dari penambahan atau perpindahan elektroda arus sesuai dengan penetrasi arus yang masuk.

Untuk lapisan tanah yang homogen nilai resistivity yang diperoleh disebit sebagai ρ = R = true resistivity(tahanan jenis sebenarnya). Akan tetapi di alam lapisan tanah/batuan merupakan lapisan yang heterogen (berbagai jenis tanah/batuan). Sehingga nilai resistivity yang diperoleh disebut sebagai ρa = apparent resitivity (tahnan jenis semu).  
Pada lapisan heterogen terdapat perbedaan nilai resistivity, dimana tahanan jenis sebenarnya sesuai dengan perbedaan elektroda arus. Penentuan kedalaman lapisan tergantung pada beda elektoda arus AB and urut-urutan tahanan dibawah muka tanah. Pada umumnya penetrasi kedalaman adalah antara AB/4 sampai AB/10 atau AB/3. Sehingga dengan bentangan kabel arus AB/2=500 m penetrasi kedalaman sekitar 50 m sampai 150 matau 200 m.

Tabel data sebagai hasil pendugaan resistivity dilapangan terlihat pada Tabel 3. Setelah data diperoleh langsung diplot pada kertas log ganda. Ini dapat berguna untuk melihat perubahan vertical dari lapisan dan mennghaluskan bentuk lengkungan resistivity.

6.3.Penafsiran Dengan Perangkat Lunak

Penafsiran dengan perangkat lunak apa saja dapat menghasilkan lapisan resistivity and ketebalan lapisan. Mula pertama “entry” data pada perangkat lunak, setelah selesai dilakukan maka diklik simulasi modal. Kemudian dengan perhitungan perangkat lunak maka akan diperoleh lapisan resistivity and ketebalan lapisan.

Nilai resitivity yang diperoleh kemudian dikorelasikan dengan keadaan geologi setempat.

Tabel 2. Contoh hasil pengukuran Resistivity Test, Pangkalan Banteng, Kalteng.

Gambar 16. Hasil penafsiran resistivity test dengan perangkat lunak RESINT 53.

Gambar 17. Penampang resistivity Pangkalan Banteng, Kalteng.

REFERENSI

1.        Keller, G.V.,Frischknecht, F.C.,1966, Electrical Methods in Geiophysical Prospecting. Pergamon Press, West Germany.
2.        Orellana and Mooney,1966, The Master Tables and Curves for Vertical Electrical Sounding over Kayered Structures. Interciencia, Madrid.
3.        Rijkswaterstaat, 1969, Standar Graphs for Resistivity Prospecting. European associated Exploration Geophysics, Den Haag.
4.        Telford,W.M, Geldart L.P.,Sheriff,R.E.,Keys D.A.,1976, Applied Geophysics, Cambridge University Press, London,New Yorkk , Melboune
5.        Flathe , H.,1979, The role of a geologic concept in geophysical research works for solving hydrogeological problems. Geoexploration, 14: 195 – 206.
6.        Loke, M.H., Dr., 1999, Electrical imaging surveys for environmental and engineering studies. A practical guide to 2-D and 3-D surveys. Email:mhloke@pc.jaring.my.
7.        Ditjen Sumber Daya Air, 2003. Pedoman Teknik Penyelidikan Air Tanah Dengan Metoda Geolistrik dalam Pengembangan Air Tanah. Departemen Kimpraswil, Ditjen SDA, Dit Bina Teknik.

Kamis, 13 Januari 2011

DOWN HOLE SEISMIC FOR ENGINEERING STRUCTURES



I. INTRODUCTION

1.1. General  Statement

Applied seismic on engineering structure divided into 2 (two) advantages, that are:
Firstly, refraction seismic exploration is to get lateral distribution of velocity layers underneath ground level. The velocity layers related to bearing capacity of soil or rocks. Beside that, the velocity layers could be known unconsolidated material and solid rock, depth of soil or base rock. Others, usefully of seismic exploration are to reduce core drilling in feasibility stage engineering study.
Secondly, down hole seismic is to get bearing capacity parameter in relation to engineering structure when the earthquake happened. The method to do down hole seismic is to install geophone on the bore hole, than making artificial trigger on the surface. The impulse or artificial trigger can be rise compression wave and shear wave. The result of preliminary wave and the secondary wave can be use to get the dynamic characteristic of the soil or rocks.
The result of the applied seismic given to engineer for designing the resistance of earthquake on engineering structure.

1.2. Basic Theory

In the seismic refraction method an explosive charge, weight drop or hammer blow is used to generate an elastic pulse (shot) at the earth’s surface. Some of the radiating energy which travels by several paths in the medium is refracted along subsurface boundaries and returns to surface to be recorded by a line of detectors (seismometer or geophone). The time lapse between the shot and the first arrival of the refracted energy at each of geophones is plotted on the time-distance curve (Fig.1) and this provides information on the depths to the refracting horizons and the seismic velocities of underlying layer. Fortunately, refracting horizon normally corresponds to distinct geological horizons and thus the depths to the geological interfaces may be computed. Modern interpretation techniques permit the measurement of depth to an irregular refracting interface at each seismometer position along the profiles.


1.3. The Down Hole Seismic

The purpose of down hole seismic is to be able to predict with accuracy behavior earthquakes of structure and the ground on which its rest, and used for effective a seismic design. It is necessary to know the dynamic characteristics of the ground.
The dynamic characteristics of soil that must be known in order to analyze deformation and stress resulting from dynamic loads are the Poison’s ratio (α), shear modulus (G), Young’s modulus (E) and kinetic bulk density (K).  
Those parameters can be calculated using the formula as shown bellows:

Kinetic Poisson ratio’s                      α = {1 – 2 (Vs/Vp) 2} / {2-2(Vs/Vp) 2}
Kinetic Rigidity Modulus                 G = 1/g.r.Vs2 (in kg/cm2)
Kinetic Deformation Coefficient      E = 2(1+r) G (in kg/cm2)
Kinetic Bulk Modulus                       K = E/3(1-2r) (in kg/cm2)
Where             g = acceleration from gravitation (9.75 m/sec2)
                        r = bulk density of the ground (tonf/m3)
                        Vs and Vp = seismic velocity (m/sec)
The primary wave (Vp) and shear wave (Vs) is known from the down hole seismic record.


CHAPTER 2. PROCEDURE OF DOWN HOLE SEISMIC

The three of geophones is inserting to the bore hole as shown in Fig.2. The length of prove is 1.00 m, where on the tip of prove contained three geophones perpendicular each others.

The P wave and S wave propagation determine by using 3 geophones, 1 geophone placed vertical and two geophones horizontal. The two geophones placed on the right angles to each others. The shot point is toward the hole about 1.50 m – 2.00 from the hole. The wooden plate hammering is method to generate shear wave referred to every depth of hole. 
The wooden plate is 1.50 m – 2.00 m long, 50 cm wide and 10 cm thickness is firmly fixed on the ground. The data will be checked for be sure measurement of S waves. The record will be every 1 m interval and the record similar up to the depth of hole. The V wave and S wave determined from the record and plotted on the paper to determine of velocity layers.
Figure 2. Schematic Down Hole Seismic using the Oyo Mc Seis 160.

2.1. Calculation of Dynamic Parameter

The down hole seismic method is applied to find the velocity distribution of P wave and S wave in bore hole. The first step of finding velocity distribution is to read the first arrival time on the seismic record. Afterward, data is plotted on the millimeter paper and drawing the time - travel curve. On the curve find the best fit of velocity distribution (Vp or V s= distance / time = m/sec.)

The velocity distribution of P wave and S wave are used to calculate the dynamic elastic constant as shown on the flow chart on Table 1.
 
Table 1. Processing to produce dynamic elastic constants from S wave and P wave (OYO, 1978, TN 18).
P wave velocity is chiefly a function of volume elasticity and rigidity of the layer, become smaller in rigidity in proportion as the layer is soft with result that volume elasticity comes to have a larger influence.

S wave velocity, which is function of only rigidity, is a volume which serves s direct standard of hardness of layers. The values of material density (r) is obtained from Table 2.


Table 2. Density values (r), angle of friction (φ0), compaction (C) according to JIS Manual.

Material types
Rock types
Unit Weight (r) (tf/m3)
Angle of friction (φ0)
Compaction ( C ) =kgf/cm2
Soil Classification
Banking Material

1,4 – 2,0
150 - 400
0,1 – 0,5
GW,GP
SW,SP
SM,SC
ML,CL
VH

Gravel
2,0
1,8
40o
35
0
GW,GP

Sand with gravel
2,1
1,9
40
35
0
GW,GP

Sand
2,0
1,9
35
30
0
SW,SP
Natural
Sandy soil
1,9
1,7
30
25
0
SM,SC
Material
Clayey soil
1,5
1,6
25
20
0
ML.CL

Clay and silt
1,6 – 1,7
1,4 – 1,5
20
15
0
ML.CL
MH

Volcanic ash
1,4
5
0,3
VH


CHAPTER 3. THE RESULTS OF DOWN HOLE SEISMIC

The time travel curves and elastic modulus shown on Table 4 and Table 5. The elastic modulus related to the depth of ground bed design and the weight of proposed engineering structure. The summary result of down hole seismic shown on Table 3.







CHAPTER 4. CONCLUSIONS

Elastic modulus taken from the data of AR 1 on the depth of 15 m is as follows :  
α    = 0.33 – 0. 50
G   = (0.2 x 103 – 189.9 x 103) kg/cm2
E   = (1.34 x 103 – 1025.34 x 103) kg/cm2
K   = (41.22 x 103 – 483.50 x 103) kg/cm2
r    = 1, 7 – 1, 8    


REFERENCES

1.    Masuda, H., 1975, Seismic Refraction Analysis for Engineering Study. OYO Technical Note TN 10.
2.    Imai, T., 1975, An Introduction to the geophysical prospecting for civil engineering purposes. OYO Technical Note TN 11.
3.    Hawkins, L.V., 1961. The reciprocal method of routine shallow seismic refractions lines. Geophysical Prospecting, 6, 285 -182.
4.    Hawkins, L.V., 1961. Seismic Refraction Surveys for Civil Engineering. Geophysical Memorandum 2/69, ABEM Printed Matter No.90091.
5.    Angela M. Davis, 1977, A Technique for Insitu Measurement of Shear Wave Velocity, Marine Science Laboratories, University Collage of North Wales U.K,, Abem  Case History, ABEM Printed Matter – No.90180
6.    Takeshi Okubo, Akhiro Satake, Masaki Ishoguro, Minuro Nakagawa and Ken Ito, 1978, Seismic Survey for Civic Engineering by Handy Seismograph, OYO Technical Note TN – 18, OYO Corporation.
Satoru Ohya, Tsuneaki Takeuchi, Tsuneo Imai and Ken Ito, 1978, Geophysical Investigation for Civil Engineering purposes in Japan. OYO Technical Note TN – 33 OYO Corporations.